Ma’shum Syah, S.Psi’s Blog

Radikal, Progresif, Revolusioner

PERKEMBANGAN MORAL DAN KEAGAMAAN

TUGAS TERSTRUKTUR
MAKALAH KELOMPOK II
MATA KULIAH
PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

PERKEMBANGAN MORAL DAN KEAGAMAAN
(Pembentuk Kepribadian dan Sikap Insan)

Dosen Pembimbing:
Dra. Amanah Agustin, M.Pd

Oleh:
KELOMPOK II
12 Firmansyah 18 Hermelinda Mol
13 Vidia Soviana 19 Sari Ratna Hidayati
14 Ma’shum Syah 20 Samsul Huda
15 Anang Fauzi 21 Christina Maria Agustin
16 Ajizah Umami 22 Linda Mustika Hartiwi
17 Rahmat Marzuki

KELAS A
PROGRAM AKTA IV
INSTITUT KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN BUDI UTOMO
(IKIP BUDI UTOMO)
MALANG
2008

PERKEMBANGAN MORAL DAN KEAGAMAAN
(Pembentuk Kepribadian dan Sikap Insan)

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Batasan Masalah
D. Tujuan Diskursus
E. Metode Pemecahan Masalah
BAB II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Nilai, Moral dan Sikap
B. Pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
C. Hubungan Antara Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan
D. Konsep Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak
E. Tahapan Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak
F. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Anak
G. Proses Pembelajaran Untuk Membantu Perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Subjek Didik
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

PERKEMBANGAN MORAL DAN KEAGAMAAN
(Pembentuk Kepribadian dan Sikap Insan)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbagai persoalan mengenai konsep dan aplikasi tentang nilai, moral, sikap dan keagamaan anak, merupakan masalah yang sekarang ini sangat banyak meminta perhatian, terutama bagi para pendidik, ulama, pemuka masyarakat dan para orang tua. Terlebih tantangan zaman yang semakin kuat, dengan adanya globalisasi dan slogan Global Village menjadikan para remaja mudah terbujuk oleh gemerlapnya dunia hedonis, konsumeris dan dugem yang makin menjauhkan anak dari nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan. Tidak henti-hentinya kita mendengar berita tentang tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak,
Adapun moral sama dengan etika, atau kesusilaan yang diciptakan oleh akal, adat dan agama, yang memberikan norma tentang bagaimana kita harus hidup. (Panuju, 1995). Moral dapat diukur secara subyektif dan obyektif. Kata hati atau hati nurani memberikan ukuran yang subyektif, adapun norma memberikan ukuran yang obyektif. (Hardiwardoyo,1990). Apabila hati nurani ingin membisikan sesuatu yang benar, maka norma akan membantu mencari kebaikan moral. Anak yang berusaha hidup baik secara tekun dalam waktu lama dapat mencapai keunggulan moral yaitu bersikap batin dan berbuat lahir secara benar.
Kita barang kali sangat terkejut ketika untuk pertama kali mendapati anak kita yang masih belia berani melontarkan kata-kata kotor kepada guru atau orang tuanya sendiri. Mungkin pula anak yang tadinya manis dan baik tiba-tiba mencuri uang dalam jumlah besar, memeras teman sekelas, nyontek, belajar merokok, memfitnah teman, atau membaca buku porno. Apakah hal demikian normal ?
Meskipun saat ini semakin banyak anak terlibat kasus yang menyangkut moral, kita tidak boleh beranggapan bahwa hal ini wajar. Pelanggaran moral bukanlah hal yang dapat dianggap remeh. Seyogyanyalah pelanggaran moral oleh anak dikoreksi dan tidak dibiarkan begitu saja.
Semakin seriusnya perilaku tak bermoral yang dilakukan anak yang masih muda memberi petunjuk akan semakin beratnya tantangan bagi orang tua dalam mendidik anak. Mengapa anak berperilaku buruk? Salah satu kemungkinannya adalah karena semakin jarangnya kehdirang orang tua di rumah. Jumlah waktu yang dipakai orang tua untuk mengajar anak-anaknya hidup secara benar juga semakin berkurang. Akibatnya pengenalan anak terhadap kehidupan orang tuanya sendiri juga semakin sedikit. Padahal anak perlu menyaksikan orang tuanya secara langsung untuk memperoleh contoh nyata hidup yang bermoral.
Kesulitan bertambah ketika anak justru memperoleh pengajaran yang kurang patut, baik melalui televisi, teman sekolah, maupun dari orang dewasa di sekitarnya. Ketika perilaku butuk anak terbentuk menjadi pola kebiasaan, perilaku itu sudah semakin sulit dibelokkan lagi. Karena itu, kita perlu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk membentuk perilaku moral anak-anak kita.
Norma-norma lama sudah tidak meyakinkan lagi untuk menjadi pegangan. Kenyatannya, anak tidak dapat lari dari hati nuraninya, tapi hati nurani pun tidak berdaya menemukan kebenaran, apabila norma-norma yang biasanya dipakai sebagai landasan pertimbangan menjadi serba tidak pasti. Anak berhadapan dengan berbagai tipe manusia, tutur kata, gaya hidup, dan tingkah laku moral.yang bervariasi. Pola kehidupan masyarakat pun semakin cenderung individualis, dengan kontrol sosial yang relatif longgar. Munculah fenomena baru sebagai model bagi anak yaitu teman sepermainannya, atau tokoh-tokoh serial televisi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan Diskursus yang kami ajukan “Perkembangan Moral dan Keagamaan (Pembentuk Kepribadian dan Sikap Insan)” dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa pengertian Nilai, Moral dan Sikap?
2. Apa pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan?
3. Bagaimana hubungan antara Nilai, Norma, Sikap dan Keagamaan?
4. Apa yang dimaksud dengan konsep perkembangan Moral dan Keagamaan anak?
5. Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan moral dan Keagamaan anak ?
6. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan anak?
7. Bagaimana Proses pembelajaran untuk membantu perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Subjek Didik?

C. Batasan Masalah
Masalah yang akan kami bahasa dalam diskursus ini kami batasi terutama sekali mengenai Perkembangan Moral dan Keagamaan. Sementara mengenai konsep Nilai dan Sikap adalah Diskursus Tambahan yang memang memiliki keterkaitan yang akan memperkaya Khazanah Keilmuan kita. Namun demikian fokus permasalahan diskursus tetap pada problematika perkembangan Moral dan Keagamaan.
D. Tujuan Diskursus
Tujuan diajukannya diskursus ini ialah untuk mengetahui;
1. Pengertian Nilai, Moral dan Sikap
2. Pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
3. Hubungan antara Nilai, Norma, Sikap dan Keagamaan
4. Konsep perkembangan Moral dan Keagamaan anak
5. Tahapan-tahapan perkembangan moral dan Keagamaan anak
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan anak
7. Proses pembelajaran untuk membantu perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Subjek Didik
D. Metode Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah yaitu langkah-langkah yang ditempuh dalam menyelesaikan permasalahan yang dituangkan dalam rumusan masalah, sedangkan langkah-langkah yang dilakukan dalam menjawab permasalahan dalam makalah ini adalah :
1. Metode Library Research (kajian kepustakaan) yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
2. Melakukan diskusi kelompok untuk menjawab permasalahan dari prosedur tersebut kemudian dibagi, didiskripsikan, diuraikan dan akhirnya dilakukan penyimpulan-penyimpulan sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nilai, Moral dan Sikap
Menurut Spranger, Nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia itu terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejarahan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi Spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah ”roh subjektif” (subjective spirit). Sementara itu, kekuatan nilai-nilai budaya merupakan ”roh objektif” (objective spirit). Dalam kacamata Spranger, kekuatan individual atau roh subjektif didudukkan dalam posisi primer karena nilai-nilai budaya hanya akan berkembang dan bertahan apabila didukung dan dihayati oleh individu. Spranger menggolongkan nilai ke dalam enam jenis, yaitu:
1. Nilai Teori/Nilai Keilmuan (I): Dasar Pertimbangan Rasional, kontras dengan nilai (A)
2. Nilai Ekonomi (E) Dasar Pertimbangan Ada Tidaknya Keuntungan finansial, kontras dengan nilai (S)
3. Nilai Sosial/Nilai Solidaritas (Sd) dasar pertimbangan tidak menghiraukan keberuntungan/ketidakberuntungan, kontras dengan nilai (K)
4. Nilai Agama (A) dasar pertimbangan benar menurut ajaran agama, kontras dengan nilai (I)
5. Nilai Seni (S) dasar pertimbangan rasa keindahan/rasa seni terlepas dari pertimbangan material, kontras dengan nilai (E)
6. Nilai Politik/Nilai Kuasa (K) dasar pertimbangan kepentingan diri/kelompok, kontgras dengan nilai (Sd) (Mohammad Asrori, 2008:153-154)
Sementara itu, istilah Moral berasal dari berasal dari kata latin “Mos, Moris dan Mores”, yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tatacara dalam kehidupan. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi/kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai – nilai dan prinsip-prinsip moral/aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil dan seimbang. (Mohammad Asrori, 2008:155) dan (Yusuf : 2007 : 132)
Moral juga diartikan sebagai ajaran baik dan buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya (Purwadarminto, 1956 : 957). Dalam moral didiatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang salah. Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Nilai-nilai moral itu seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, larangan berjudi, mencuri, berzina, membunuh dan meminum khamar. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Sejalan dengan perkembangan social, perkembangan moral keagamaan mulai disadari bahwa terdapat aturan-aturan perilaku yang boleh, harus atau terlarang untuk melakukannya. Aturan-aturan perilaku yang boleh atau tidak boleh disebut moral.
Proses penyadaran moral tersebut berangsur tumbuh melalui interaksi dari lingkungannya di mana ia mungkin mendapat larangan, suruhan, pembenaran atau persetujuan, kecaman atau atau celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang mungkin menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Sedangkan Sikap, menurut Fishbein (1985) ialah predisposisi (kecenderungan) emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel latent yang mendasari, mendireksi dan mempengaruhi perilaku. Sikap diekspresikan ke dalam kata-kata/tindakan hasil reaksi terhadap objek, baik orang, peristiwa, situasi dan lain sebagainya. Sedangkan sesuai dengan konsep Chaplin (1981) dalam ”Dictionary of Psychology” menyamakan sikap dengan pendirian. Menurutnya Sikap yaitu predisposisi/kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk bertingkah laku/bereaksi dengan suatu cara tertentu terhadap oranglain, objek, lembaga/persoalan tertentu. Sehingga Sikap merupakan predisposisi untuk mereaksi terhadap orang, lembaga/peristiwa, baik secara positif maupun negatif/predisposisi untuk melakukan klasifikasi dan kategorisasi. Sedang Stephen R. Covey (1989) mengemukakan tiga teori determinisme (faktor yang menentukan) yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia,yaitu:
a. Determinisme Genetis (genetic determinism) sikap individu diturunkan oleh sikap kakek-neneknya
b. Determinisme Psikis (psychic determinism) sikap individu merupakan hasil dari perlakuan, pola asuh/pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya
c. Determinisme lingkungan (environmental determinism) perkembanagn sikap seseorang itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut (Mohammad Asrori, 2008:159-161)
B. Pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Agama dari sisi etimologi berasal dari bahasa Yunani ”a” yang berarti tidak dan ”gama” yang bermakna kacau balau, carut marut, tak teratur. Sehingga agama ialah suatu tatanan yang berfungsi memberikan keteraturan. Sementara dari sisi terminologi, menurut Hendropuspito (1983) dalam bukunya Sosiologi Agama, menerangkan bahwa Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya. Sehingga unsur-unsur Agama memuat:
a. Agama disebut jenis sistem sosial. Menjelaskan bahwa agama adalah fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem sosial dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tertentu
b. Agama berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris . hal ini menyatakan bahwa agama itu khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar” yang di-”huni” oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh dan roh tertinggi
c. Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud kepentingan (keselamatan) ialah keselamatan di dalam dunia sekarang ini dan keselamatan di ”dunia lain” yang dimasuki manusia setelah kematian.
Thomas F.O Dea mendefinisikan agama sebagai pendayagunaan sarana-sarana supra empiris untukmaksud-maksud non empiris atau supra empiris. Sementara itu, J. Milton Yinger melihat agama sebagai sistem kepercayaan dan praktek dengan mana suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah terakhir dari hidup ini. Sedangkan Dunlop melihat agama sebagai sarana terakhir yang sanggup menolongh manusia bilamana instansi lainnya gagal tak berdaya. Sedangkan aspek agama menurut Joachim Wach ada tiga, yakni: pertama unsur teoritisnya, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan, kedua unsur praktisnya ialah yang berupa sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga aspek sosiologisnya bahwa agama mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial. (Hendropuspito, 1983: 34-35)
Sementara itu Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan definisinya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 1 Pendidikan Agama adalah pendidikan yang memberikan pengetrahuan dan membentuk sikap kepribadian dan ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya. Sedangkan Ayat 2 Pendidikan Keagamaan ialah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
C. Hubungan Antara Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan
Nilai merupakan tatanan tertentu atau kriteria di dalam diri individu yang dijadikan dasar untuk mengevaluasi suatu sistem tertentu. Pertimbangan nilai adalah penilaian individu terhadap suatu objek/sekumpulan objek yang lebih mendasarkan pada sistem nilai tertentu daripada hanya sekedar karakteristik objek tersebut. Moral merupakan tatanan perilaku yang memuat nilai-nilai tertentu untuk dilakukan individu dalam hubungannya dengan individu lain/kelompok/masyarakat. Moralitas merupakan pencerminan dari nilai-nilai dan idealitas seseorang. Dalam moralitas terkandung aspek-aspek kognitif, afektif dan perilaku, sedangkan sikap merupakan predisposisi tingkah laku/kecenderungan bertingkah laku yang sebenarnya, juga merupakan ekspresi/manifestasi dari pandangan individu terhadap suatu objek/sekumpulan objek. Sikapmerupakan sistem yang bersifat menetap dari komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Perubahan pengetahuan individu tentang objek/sekumpulan objek (sistem/konsep nilai, moral, sikap dan agama) akan menimbulkan perubahan perasaan individu yang bersangkutan mengenai objek/sekumpulan objek tersebut dan selanjutnya akan mempengaruhi kecenderungannya untuk bertindak terhadap objek/sekumpulan objek tersebut. Keagamaan ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan agama baik nilai, moral, sikap maupun prilaku individu yang dilandasi nilai, moral dan sikap dalam ajaran agama.
Dengan demikian, dapat ditarik konklusi bahwa nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk melakukan sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predisposisi/kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu objek/sekumpulan objek sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada dalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yang dimiliki, individu akan menentukan prilaku mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindarkan. Ini akan tampak dalam sikap dan prilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya. Sedangkan Keagamaan merupakan fundamen dan spirit bagi lahirnya sistem dan konsep nilai, moral dan sikap yang dimiliki individu yang termanifes dalam prilaku individu terkait, dalam kehidupan sehari-harinya. (Mohammad Asrori, 2008:162)
D. Konsep Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak
Konsep perkembangan moral dapat kita cermati dari buah pikiran Piaget dan Norman J.Bull. Jean Piaget adalah wakil Direktur Institute of Educational Sciences dan Professsor Psikologi Eksperimental di University of Geneve. Piaget secara intensif telah melakukan penelitian selama lebih dari 40 tahun terhadap “Perkembangan Struktur Kognitif (Cognitive Structure) dan Pertimbangan Moral (Moral Judgement). Piaget dan Norman J. Bull berpendapat bahwa pendidikan moral akan berhasil, apabila pendidikan itu dilakukan sesuai dengan tahap perkembangan moral anak. Dengan kata lain kedua akhli ini mencita-citakan adanya strategi pendidikan moral yang disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan moral anak. Piaget mendefinisikan tahap perkembangan moral sebagai berikut: (1) Pre-moral yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan. (2) Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan dan harus menaati kekuasaan. (3) Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan tujuan dan konsekuensi ketaatannya kepada peraturan. Adapun Norman J. Bull (I969) berkesimpulan bahwa tahap perkembangan moral itu adalah: (1) Anomi yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan. (2) Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada peraturan, dan merasa perlu menaati kekuasaan.(3) Sosionomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok. (4) Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya pada peraturan.
Dalam perkembangan moral itu titik heterotomi dan autonomi lebih menggambarkan proses perkembangan dari pada totalitas mental individu. Melalui pergaulannya anak mengembangkan pemahamannya mengenai tujuan dan sumber aturan. Sampai usia tujuh atau delapan tahun anak dikendalikan oleh seluruh aturan. Terhadap aturan yang berasal dari luar, anak belum memiliki pengertian dan motivasi untak konsisten. Pada tahap autonomi anak menyadari akan aturan dan menghubungkannya dengan pelaksanaannya. Tahap berikutnya adalah pelaksanaan autonomi.
E. Tahapan Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak
Pertama-tama moral berkembang melalui adopsi terhadap norma- norma sosial. Dalam pengertin ini anak mengambil norma yang dipakai oleh orang-orang dengan cara mencontoh. Oleh karena itu sebagai seorang guru hendaknya memberi contoh pada muridnya untuk menanamkan norma yang sesuai.
Perkembangan moral dapat juga melalui pemahaman terhadap norma. Pengalaman sosial ini didapat melalui interaksi dengan institusi sosial, sistem hukum yang berlaku dan hubungan interpersonal. Bagaimana tahapan perkembangan moral menurut pandangan berbagai tokoh Psikologi?
John Dewey mengemukakan perkembangan moral dalam tiga tahap, yakni:
1. Tahap Pra-Moral; ini ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada aturan
2. Tahap Konvensional; ini ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan pada kekuasaan
3. Tahap Otonom; ini ditandai dengan berkembangnya keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas (imbalbalik yang sama) (Mohammad Asrori, 2008:156)
Sedangkan menurut Norman J. Bull terdapat empat tahap perkembangan moral, yakni:
1. Anomi yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan.
2. Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada peraturan, dan merasa perlu menaati kekuasaan.
3. Sosionomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok.
4. Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya pada peraturan.
Semenatar itu, Jean Piaget selain mengembangkan teori kognitif, juga memperkenalkan teori perkembangn moral. Piaget membagi perkembangan moral atas 3 tahap yaitu :
1. Pre Moral (0 sampai dengan 5 tahun)
Pada tahap ini anak tidak/belum merasa wajib untuk menaati peraturan.
2. Heteronomous Morality (+ 5 sampai dengan 10 tahun)
Pada tahap perkembangan moral ini, anak memandang aturan- aturan sebagai otoritas yang dimiliki Tuhan, orang tua dan guru, yang tidak dapat dirubah, dan harus dipatuhi dengan sebaik- baiknya
3. Autonomous Morality atau Morallity of Cooperation (Usia 10 tahun ke atas)
Moral tumbuh melalui kesadaran, bahwa orang dapat memilih pandangan yang berbeda terhadap tindakan moral. Pengalaman ini akan tumbuh menjadi dasar penilaian anak terhadap suatu tingkah laku. Dalam perkembangan selanjutunya, anak berusaha mengatasi konflik dengan cara- cara yang paling menguntungkan, dan mulai menggunakan standar keadilan terhadap orang lain.
Menurut Piaget, pengalaman ini menyadarkan anak bahwa norma bersifat flexible, merupakan kesepakatan sosial, yang dapat disesuaikan dengan keinginan mayoritas.
Lain halnya dengan Kohlberg. Lawrence Kohlberg, mengembangkan teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget, sehingga melahirkan teori perkembangan moral. Melalui penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif, akhirnya dapat menyimpulkan tahap perkembngan moral individu.
Tahapan perkembangan moral dari Kohlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori Perkembangan Kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.
Menurut Kohlberg (Crain, 1992: Gunarsa; Miller; papilia, Old dan Feldman, 1998) ada beberapa tahap perkembangan moral, diantaranya: preconventional morality, morality of conventional role conformity, dan morality of autonomy moral principle.
Tahap 1: Pre Conventional Morality/Pra-Konvensional (Anak usia 4-10 tahun)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi Relativis Instrumental/relativistic hedonism/resiprositas/minat pribadi (imbalbalik/Apa untungnya buat saya?)
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Ketika berada dalam suatu tekanan, maka individu akan menuruti suatu perintah/peraturan guna menghindari hukuman (punishment) dan ingin memperoleh suatu hadiah (reward)
Fase pertama, individu memiliki orientasi kepatuhan dan berusaha menghindari hukuman. Individu harus patuh pada otoritas (orang tua) Agar menghindari hukuman. Dalam hal ini, seorang individu belum memiliki kesadaran terhadap apa yang dilakukan. Kesadaran dan pemahaman, nilai benar- salah, amat ditentukan oleh evaluasi penilaian orang lain (orang tua/ orang dewasa). Dengan demikian kepatuhan individu bersifat semu dan wajar, bila individu tidak akan patuh kalau bertindak tanpa diketahui oleh orang lain.
Dalam fase pertama ini, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Fase kedua, Relativis Instrumental/relativistic hedonism/resiprositas/minat pribadi, yakni ada faktor pribadi yang bersifat relatif dan memiliki prinsip kesenangan. Anak akan mematuhi suatu aturan, kalau aturan tersebut membuat dirinya senang atau menguntungkan dirinya.
Pada fase kedua ini menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral. (Mohammad Asrori, 2008:156-157)
Tahap II: Morality of Conventional Role Conformity/Konvensional (Usia 10 tahun)
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas/kesepakatan antarpribadi/orientasi ”anak manis” ( Sikap anak baik)
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial/hukum dan ketertiban (Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Individu sebenarnya telah mnginternalisasikan nilai- nilai dari pihak otoritas (orang tua, guru). Mereka mulai memperhatikan sifat- sifat yang baik yang disenangi dan diharapkan orang lain. Mereka ingin menjadi goodboy atau goodgirl. Agar dikatakan sebagai anak yang baik, maka individu akan melakukan tindakan- tindakan yang menyenangkan orang lain. Tujuanya, agar dirinya mudah diterima dalam lingkungan sosial masyarakat.
Fase ketiga, orientasi mngenai anak yang baik, yakni agar menjadi anak yang baik, maka sikap dan perbuatan individu harus diterima oleh masyarakat. Mau tidak mau, seorang anak harus patuh dan taat terhadap aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Ketidak patuhan hanya akan mendatangkan cemooh atau caci maki daroi orang lain, sehinggga memalukan diri sendiri atau menjatuhkan harga diri.
Dalam fase tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; ‘mereka bermaksud baik ‘
Fase keempat, mempertahankan norma- norma sosial. Individu menyadari kewajiban untuk ikut melaksanakan norma yang ada dan mempertahankan pentingnya norma tersebut. Oleh Karena itu segala sikap dan tindakan dinilai dan diawasi oleh diri sendiri serta mengontrol tindakan- tindakan orang lain, agar sesuai dengan norma sosial.
Dalam fase empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu – sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik. (Mohammad Asrori, 2008:157)
Tahap III: Morality of Autonomy Moral Principles/Pasca-Konvensional (Minimal usia 13 tahun ke atas)
5. Orientasi kontrak sosial legalitas/utilitarian (ukuran perbuatan baik hasil konsensus)
6. Prinsip etika universal/hati nurani universalitas (Principled conscience)
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Orang mulai menyadari adanya konflik antara standar nilai moralitas dengan pertimbangan prinsip kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Jadi, ia sudah mampu menilai dan mengevaluasi suatu tindakan / keputusan itu benar atau salah menurut pertimbangan hati nurani. Ia berani mengambil resiko terhadap keputusan dan tindakanya secara terbuka. Ia tidak lagi takut terhadap ancaman atau berkeinginan supaya memperoleh pengakuan social dari orng lain. Ia berpegang prinsip- prinsip kebenaran manusia secara universal. Umunya mereka yang telah mencapi golongan dewasa muda (21 tahun keatas) telah mencapai tahap ini, sedangkan remaja dianggap belum memiliki kemampuan ini, karena belum matang secara kapasitas intelektualnya.
Fase kelima, orientasi terhadap perjanjian antar dirinya dengan lingkungan social. Individu menmpunyai kesadaran dan keyakinann pribadi bahwa dengan berbuat baik, maka ia pun akan diperlakukan dengan baik pula oleh orang lain. Dan keyakinan ini timbul dari hati nurani.
Dalam fase lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut – ‘memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak’? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran fase lima.
Fase keenam, prinsip universal. Dengan semakin tumbuh dan berkembangnya norma- norma etika dalam dirinya, maka individu akan menyesuaikan sikap dan tindakanya agar sepadan dengan prinsip- prinsip kebenaran yang diakui secara global. Jadi melampaui batas- batas suku, bangsa, agama dan jenis kelamin.
Dalam fase enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini. (Mohammad Asrori, 2008:158)
F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Anak.
Nilai, moral dan sikap serta perilaku keagamaan adalah aspek-aspek yang berkembang pada diri individu melalui interaksi antara aktivitas internal dengan pengaruh stimulus eksternal. Pada awalnya seorang anak belum memiliki nilai-nilai dan pengetahuan mengenai nilai moral tertentu atau tentang apa yang dipandang baik atau tidak baik oleh kelompok sosialnya. Selanjutnya, dalam interaksinya dengan lingkungan, anak mulai belajar mengenai berbagai aspek kehidupan yang berkaitan dengan nilai, moral dan sikap serta perilaku keagamaannya. Dalam konteks ini, lingkungan merupakan faktor yang besar pengaruhnya bagi perkembangan nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan individu.
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan individu itu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan individu yang tumbuh dan berkembang di dalamnya.
Remaja yang tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan relegius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki nilai luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku keagamaan yang terpuji. Sebaliknya, individu yang tumbuh dan berkembang dalam kondisi psikologis yang penuh konflik, pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang penuh otoriter dan permisif, dan kurang relegius, maka harapan agar anak dan remaja berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, sikap dan perilaku keagamaan yang terpuji menjadi diragukan. (Mohammad Asrori, 2008:164-165)
G. Proses Pembelajaran untuk Membantu Perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Subjek Didik
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi mereka gambaran-gambaran yang diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yang simpatik, orang-orang terkenal dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri.
Syamsu Yusuf (2007 : 133) menyatakan bahwa : “Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai dari lingkungannya, terutama dari orang tuanya”.
Dari pernyataan diatas dapat dimengerti bahwa perkembangan moral anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitarnya, utamanya keluarganya yang setiap hari berinteraksi dengan anak. Boleh jadi baik dan buruknya perkembangan moral anak tergantung pada baik dan buruk moral keluarganya.
Agar perkembangan moral keagamaan anak dapat berkembang dengan baik sebaiknya keluarga utamanya ayah dan ibu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Konsisten dalam mendidik
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang dan membolehkan tingkah laku tertentu pada anak. Pada kenyataanya masih banyak kita jumpai orang tua yang tidak kompak dalam mendidik anaknya, hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan orang tua dan juga dipengaruhi rasa ego.
Ketidak kompakan orang tua dalam mendidik anaknya berakibat kurang baik terhadap moral anak, biasanya mereka bingung membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, patuh pada aturan bapak atau patuh pada aturan ibu, dan lain sebagainya. Maka sebaiknya ayah dan ibu menyamakan persepsi dalam memberikan didikan pada anak-anaknya.
2. Sikap orang tua dalam Keluarga
Sikap orang tua dalam keluarga secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan moral anak. Melalui proses peniruan (imitasi) mereka mereka merekam sikap ayah pada ibu dan sebaliknya, sikap orang tua pada tetangga tetangga sekitarnya akan dengan mudah ditiru oleh anak. Sikap yang otoriter orang tua akan membuahkan sikap yang sama pada anak. Sebaliknya sikap kasih saying, keterbukaan, musyawarah, dan konsisten, juga akan membuahkan sikap yang sama pada anak.
Menurut penulis, sebaiknya orang tua memberikan contoh (tauladan) moral yang baik pada anak-anaknya, agar dimasa yang akan datang anak-anaknya menjadi orang yang berguna.
3. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orang tua berkewajiban menanamkan ajaran-ajaran agama yang dianutnya kepada anak, baik berupa bimbingan-bimbingan maupun contoh implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan orang tua dalam menjalankan moral keagamaan merupakan cara yang paling baik dalam menanamkan moral keagamaan anak.
Dengan perkembangan moral keagamaan yang baik pada anak sudah barang tentu akan berpengaruh terhadap budi pekerti atau tingkah laku anak pada masa yang akan datang.
Disamping faktor pengaruh keluarga, faktor lingkungan masyarakat dan pergaulan anak juga mempengaruhi perkembangan moral keagamaan anak, pada perkembangannya terkadang anak lebih percaya kepada teman dekatnya dari pada orang tuanya, terkadang juga lebih mematuhi orang-orang yang dikaguminya seperti ; gurunya, artis favoritnya, dan sebagainya.
Keluarga dengan moral keagamaan yang baik dan lingkungan masyarakat yang baik, secara teoritis akan berpengaruh positif terhadap perkembangan moral keagamaan yang baik pada anak.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian diatas penulis memberikan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1. Nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Moral berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan, sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai – nilai dan prinsip-prinsip moral. Moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Sikap merupakan predisposisi untuk mereaksi terhadap orang, lembaga/peristiwa, baik secara positif maupun negatif/predisposisi untuk melakukan klasifikasi dan kategorisasi. Keagamaan ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan agama baik nilai, moral, sikap maupun prilaku individu yang dilandasi nilai, moral dan sikap dalam ajaran agama.
2. Antara Konsep dan Aplikasi Nilai, Moral, Sikap dan Perilaku Keagamaan memiliki keterikatan antara satu dengan yang lain. Masing-masing saling melengkapi dan merupakan rangkaian tak terpisahkan/sesuatu yang integral baik yang Esoteris-Psikologis (Nilai, Moral) maupun Eksoteris-Fisiologis (Sikap dan Perilaku Keagamaan) yang membentuk personality (kepribadian) seseorang
3. Tahapan perkembangan moral yang dikemukakan berbagai tokoh memang sedikit berbeda namun memiliki konsep dasar yang sama, yaitu:
a. Menurut John Dewey terdapat tiga tahap:
1. Tahap Pra Moral
2. Tahap Konvensional
3. Tahap Otonomi
b. Menurut Norman J. Bull terdapat empat tahap:
1. Tahap Anomi
2. Tahap Heteronomi
3. Tahap Sosionomi
4. Tahap Autonomi
c. Menurut Jean Peaget terdapat tiga tahap perkembangan:
1. Tahap Pre Moral
2. Tahap Heteronomous Morality
3. Tahap Autonomous Morality atau Morality of Cooperation
d. Menurut Lawrence Kohlberg terdapat tiga tahap perkembangan moral:
1. Tahap Pre Conventional Morality/Pra Konvensional
2. Morality of Conventional Role Conformity/Konvensional
3. Morality of Autonomy Moral Principles/Pasca Konvensional
4. Secara garis besar, berbagai tahapan moral dari empat tokoh tersebut di atas memiliki kesamaan dan menitik beratkan tahapan perkembangan moral pada empat tahap berikut, yaitu: (1) Anomi yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan. (2) Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada peraturan, dan merasa perlu menaati kekuasaan. (3) Sosionomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok. (4) Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya pada peraturan.
5. Sementara jika dikelompokkan, secara garis besar tahapan perkembangan moral hanya terdapat tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.
6. Presdisposisi yang sangat besar moralitas anak dibentuk oleh keluarga dan lingkungan atau determinisme perkembangan moral keagamaan anak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat .

DAFTAR PUSTAKA
Asrori, Muhammad. 2008. ”Psikologi Pembelajaran”, Bandung: CV. Wacana Prima. Cet. II, Juli 2008
Azis, Alfinar. 2003. Psikologi Pendidikan. Departemen Agama Republik Indonesia.
Bee, Helen. 2006. The Developing Child. U.S.A.: A Pearson Education Company.
Desmita ( 2006 ) Psykologi Perkembangan. Bandung. Rosdakarya
Hamalik, Dr. Oemar.1992. Psikologi Belajar Dan Mengajar. Bandung: CV. Sinar baru.
Hendropuspito, D. 1983, ”Sosiologi Agama”, Jakarta: Kanisius
Hurlock B Elizabeth ( 1980 ) Developmental Psychology. New York. Mc.Graw Hill Book Company. Inc.
Kartono, Kartini. 2007. Psikologi Anak. Mandar Maju: Bandung
Makmun Syamsuddin. Abin ( 2007 ) Psykologi Kependidikan Perangkat System Pengajaran Modul. Bandung. Rosdakarya.
Monks F.J, A.M.P.Knors, Siti Rahayu Haditono ( 2004 ) Psykologi Perkembangan Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta. Gajahmada University Pers
Najati. Muhammad Utsman ( 2004 ) Psykologi dalam Perspektif Hadits. Jakarta. Pustaka Al Husna Baru.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang: Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Santrock, John W.2004. Child Development. New York: McGraw-Hill Publishing Company.
Sobur. Alex ( 2003 ) Psykologi Umum. Bandung. Pustaka Setia
Soeitoe, Samuel. 1982. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi.
Sunarto. Ny. Hartono Agung ( 1999 ) Perkembangan Peserta Didik. Jakarta. Rineka Cipta
Sunarto, Prof. Dr. H. dan. Hartono, Agung. Dra. 1999.Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Surya Brata. Sumadi ( 2002 ). Psykologi Pendidikan. Jakarta. Rajawali Press
Syah. Muhibbin ( 1996 ) Psykologi Pendidikan suatu Pendekatan Baru. Bandung. Rosdakarya.
Syah, Muhibin. M. Ed.1995. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Syarifuddin Tatang ( 2006 ). Landasan Pendidikan. Bandung. UPI Pers
Yusuf Syamsu ( 2007 ) Psykologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung. Rosdakarya
Yusuf Syamsu. Juntika Nurihsan ( 2005 ) Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung. Rosdakarya.
Zulkifli. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

27 Januari 2009 - Posted by | Uncategorized

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar